• TRADISI KLIWONAN DI KABUPATEN BATANG

    1
    TRADISI KLIWONAN DI KABUPATEN BATANG

    LAPORAN PENELITIAN
    Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir
    Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
    Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.
    31414010_logo_baru_uin_walisongo.jpg



    Disusun Oleh :

    Farda Naila Salsabila              ( 123411039)

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  WALISONGO
    SEMARANG
    2015


    I.                   PENDAHULUAN
    “Beda daerah, beda tradisi” itulah kiranya untuk menggambarkan kekhasanahan budaya yang terdapat di setiap daerah di Indonesia. Begitu pula di Kabupaten Batang yang juga mempunyai tradisi Khas Kliwonan yang di laksanakan setiap malam Jum’at Kliwon di alun-alun Batang. Tradisi Pasar Kliwonan ini merupakan salah satu adat atau tradisi yang sampai sekarang masih dipertahankan keberadaannya. Tradisi ini erat kaitannya dengan cikal bakal berdirinya kota Batang. Oleh karena itu, masyarakat Kabupaten Batang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini. Seiring dengan berlalunya waktu, maka fungsi tradisi ini bergeser dari kegiatan pengobatan penyakit menjadi Pasar Kliwonan. Masyarakat Batang berbondong-bondong menuju alun-alun untuk menikmati tradisi Kliwonan pada malam Jum’at Kliwon yang didapuk sebagai malam yang angker di Indonesia. Berbagai mitos bermunculan dan membuat penasaran penulis untuk menelusuri sejarah terdahulu yang melatarbelakangi tradisi kliwonan ini.
    Sehingga dalam penelitian ini penulis akan meneliti lebih lanjut tentang Tradisi Kliwonan di Kabupaten Batang.

    II.                LANDASAN TEORI
    Tradisi Pasar Kliwonan di Kabupaten Batang terjadi setiap 35 hari atau “selapan dina” menurut perhitungan Jawa. Bagi masyarakat Batang keberadaan tradisi ini mempunyai makna tersendiri karena erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kota Batang. Tradisi ini mencakup hari Kamis Wage dan malam Jumat Kliwon serta hari Jumat Kliwonnya.  Pada masa lalu, malam Jumat Kliwon merupakan waktu pelaksanaan pengobatan/penyembuhan bagi orang-orang yang sakit/terkena guna-guna. Tempatnya di depan Masjid Jami’ atau Masjid Kauman yaitu di alun-alun yang merupakan pusat kota. Biasanya waktu penyembuhan ditonton oleh banyak orang yang tertarik untuk melihat. Orang yang melakukan penyembuhan biasanya melakukan kaul/janji apabila sembuh nanti. Dalam proses penyembuhan orang itu membuang pakaian yang bekas dipakai untuk membuang penyakit yang melekat. Kemudian orang itu membagikan “jadah pasar” (berbagai jenis jajanan tradisional yang biasanya dijual di pasar) dan uang logam kepada orang–orang yang menonton agar di kemudian hari ia mendapatkan rejeki. Tahapan selanjutnya adalah acara guling badan di hamparan rumput yang hijau serta terakhir membasuh muka di Masjid Jami’.
    Dalam pelaksanaannya, terjadi percampuran antara tradisi/adat istiadat dengan ajaran Islam. Dikatakan ada percampuran antara tradisi/adat istiadat dengan ajaran agama Islam karena pada waktu itu orang yang bertugas melakukan pengobatan menggunakan semacam upacara ritual dengan memakai sesaji dan doa-doa tertentu.

    III.             KONDISI LAPANGAN
    Kabupaten Batang merupakan kabupaten yang paling muda di Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan jaman dulu Batang pernah bersatu dengan Kabupaten Pekalongan, tepatnya tahun 1934 pada masa Malaise Meleset (beruiniging) ketika Pemerintah Hindia Belanda bangkrut. Kabupaten Batang terletak antara 6051146dan 7011147Lintang Selatan dan antara 109040119dan 110003106Bujur Timur. Sedangkan batas-batasnya sebagai berikut.
    Sebelah barat : Kota dan Kabupaten Pekalongan.
    Sebelah timur : Kabupaten Kendal.
    Seabelah utara : Laut Jawa.
    Sebelah selatan : Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara.
    Menurut kamus Kawi-Indonesia karangan Prof. Drs. Wojowasito, Batang berarti: (1) plataran, (2) tempat yang dipertinggi, (3) dialahkan, dan (4) kata bantu bilangan (footnote). Dalam Bahasa Indonesia (juga Bahasa Melayu) Batang berarti sungai,   dan   dalam   kamus   Jawa-Indonesiaa   karangan Prawiroatmojo   berarti terka/tebak. Atas dasar arti kata tersebut di atas maka dalam hubungan alami yang ada di lokasi yang ada sekarang ini maka yang agak tepat adalah: sebuah plataran (platform) yang agak ketinggian dibandingkan dengan dataran sekitarnya maupun bila dilihat dari puncak pegunungan di sekitarnya, juga bila dipandang dari Laut Jawa[1].
    Di Kabupaten Batang terdapat alun-alun yang sangat ramai pada malam Jum’at Kliwon. Alun-alun ini terletak di depan masjid Kauman Batang. Kemacetan Jalan Pantura sering terjadi karena ramainya pengunjung yang datang berbondong-bondong dari berbagai daerah. Tak hanya para pengunjungnya saja, ternyata para pedagang yang berjualanpun banyak yang berasal dari luar Kota Batang. Sehingga pada malam Jum’at Kliwon ini alun-alun Batang dipenuhi oleh barang dagangan yang beraneka ragam, mulai dari jajanan khas Batang, manisan, baju, mainan, perabotan rumah tangga dan masih banyak lagi.

    IV.             ANALISA LAPANGAN
    Dalam penelitian ini peneliti hanya melakukan pengamatan atau observasi. Yang diamati oleh peneliti yaitu interaksi sosial antara pedagang dan pengunjung  serta suasana yang tercipta antara pedagang dan pengunjung di Pasar Kliwonan. Menurut Moleong, ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif pengamatan dimanfaatkan sebesar- besarnya: (1) teknik pengamatan ini ini didasarkan atas pengamatan secara langsung, (2)   teknik   pengamatan   juga   memungkinkan   melihat   dan   mengamati  sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.[2]

    Seiring  dengan  berjalannya  waktu,  peristiwa  Kliwonan yang  semestinya  berjalan dengan sakral telah beralih fungsi menjadi kegiatan yang bersifat menghibur karena sekarang banyak orang yang berjualan di alun-alun. Selain itu, orang yang datang untuk berobat pun semakin jarang dan bahakan mungkin sekarang sudah tidak ada lagi.  Sehingga  di  malam  Jumat  Kliwon  terjadi  keramaian  yang  disebabkan  oleh adanya pasar malam yang semestinya menjadi tempat penyembuhan/pengobatan bagi orang yang sakit.
    Kegiatan ritual malam Jum’at kliwon sudah sejak dulu dilakukan oleh masyarakat, walaupun sekarang kegiatan itu sudah mengalami pergeseran fungsi yang cukup drastis.
    Walaupun begitu, pada malam Jumat Kliwon selalu dilakukan 2 peristiwa penting yaitu nyekar dan kegiatan pada malam Jumat Kliwonnya.
    1.      Nyekar
    Sebagai layaknya masyarakat Jawa, pada hari Kamis Wage sore banyak orang yang berziarah ke makam anggota keluarga atau leluhurnya, untuk nyekar dan mengirim doa. Secara umum nyekar dapat diartikan sebagai mengunjungi makam keluarga atau leluhur untuk menabur bunga dan mengirim doa. Biasanya mereka pergi ke makam bersama keluarga atau rombongan. Di sana selain mengirim doa juga membersihkan  batu  nisan  milik  anggota  keluarga Sementara  malamnya  beberapa  kalangan  terutama  para  tetua  mengadakan  acara nyepi, baik dilakukan di rumah kediaman atau tempat-tempat yang dianggap keramat, bertuah, hening, dan mempunyai unsur gaibnya.
    2.      Malam Jumat Kliwon
    Setelah sorenya melakukan nyekar ke makam, maka pada malam harinya masyarakat  berbondong-bondong  pergi  ke  alun-alun untuk  menikmati  Pasar Kliwonan yang terjadi setiap 35 hari itu. Di sana banyak pedagang yang berjualan barang-barang, misalnya makanan, minuman, kerajinan, pakaian, dan lain sebagainya yang harganya terjangkau. Dalam pelaksanaannya, suasana mistik masih dapat dijumpai, antara lain adanya sugesti/kepercayaan bahwa apabila seseorang berjualan di Pasar Kliwonan maka sesudah malam itu dagangannya akan selalu laris terjual. Oleh sebab itu, pedagang yang datang tidak hanya berasal dari dalam kota saja, tetapi banyak juga yang dari luar kota. Selain itu, ada juga anggapan bahwa apabila seseorang belum mendapatkan jodoh/pasangan, maka dengan pergi ke alun-alun pada malam Jumat Kliwon jodoh/pasangannya akan dekat. Entah anggapan itu benar atau tidak tetapi banyak orang yang masih mempercayainya. Terlepas dari suasana mistiknya, tradisi Pasar Kliwonan memang mempunyai arti dalam sejarah berdirinya Kota Batang.

    V.                KESIMPULAN
    Dari penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Tradisi Kliwonan sudah dilaksanakan sejak jaman dahulu. Dulunya malam Jumat Kliwon digunakan untuk pengobatan/penyembuhan  bagi  masyarakat  yang  terkena  guna-guna  atau  sakit. Seiring berlalunya waktu, maka terjadi pergeseran fungsi yang cukup drastis. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah banyak yang beralih ke pengobatan yang lebih modern dan semakin banyaknya orang yang berjualan di malam Jumat Kliwon, sehingga mengganggu kesakralan kegiatan pengobatan. Sekarang pada malam Jumat Kliwon berlangsung pasar malam yang menjadi tempat bagi pedagang untuk mencari penghasilan. Ada berbagai mitos yang muncul seperti orang yang berdagang di Pasar Jum’at kliwon yang terletak di alun-alun Kabupaten Batang, maka dagangannya akan laris.

    VI.             DAFTAR PUSTAKA
    Moleong  Lexy,  J.  2000.  Metodologi  Penelitian  Kualitatif.  Bandung:  PT  Remaja Rosdakarya
    Sekretariat Daerah. 2002. Sejarah Batang: Suatu Studi Pendahuluan. Batang: Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Batang



    [1] Sekretariat Daerah, Sejarah Batang: Suatu Studi Pendahuluan, (Batang: Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Batang, 2002), hlm. 42.
    [2]Moleong  Lexy, J, Metodologi  Penelitian  Kualitatif, (Bandung:  PT  RemajaRosdakarya, 2000), hlm. 125.
  • 5 Aspek Peninggalan di Museum Ronggowarsito dan Keterkaitannya antara Nilai Islam Dan Budaya Jawa

    0
    LAPORAN FIELD RESEARCH
    MUSEUM RONGGOWARSITO SEMARANG

    Disusun Guna Memenuhi Tugas
    Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
    Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.


    Disusun Oleh :

    Farda Naila Salsabila              ( 123411039)



    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  WALISONGO
    SEMARANG
    2015

    I.                   PENDAHULUAN
    Museum Ronggowarsito memiliki banyak peninggalan yang menunjukkan keeksistensian Islam yang sudah muncul pada zaman dahulu dan keterikatannya dengan pelestarian budaya Jawa. Sehingga pada tanggal 10 Mei 2015, mahasiswa UIN Walisongo mengunjungi museum Ronggowarsito yang terletak di Jalan Abdulrahman Saleh No. 1 Semarang untuk melakukan field research. Agenda ini merupakan penugasan untuk Ujian Tengah Semester mata kuliah Islam dan Budaya Jawa.
    Pada makalah ini penulis akan memaparkan lima peninggalan di museum Ronggowarsito dan keterkaitannya dengan nilai Islam dan budaya Jawa.

    II.                RUMUSAN MASALAH
    A.    Bagaimana diskripsi nilai budaya Jawa dalam lima aspek peninggalan di museum Ranggawarsita?
    B.     Bagaimana nilai Islam dan budaya Jawa dalam lima aspek peninggalan di museum Ranggawarsita?

    III.             PEMBAHASAN
    A.    Diskripsi Nilai Budaya Jawa dalam lima Aspek Peninggalan di Museum Ranggawarsita.
    1.      Mimbar Khutbah Masjid Ki Ageng Selo
    Mimbar Khutbah Masjid Ki Ageng Selo (asal: Grobogan) ini merupakan sebuah pemberian dari keraton Kasunanan Surakarta. Mimbar ini terbuat dari bahan dasar kayu yang dihiasi oleh ukiran indah. Keraton Surakarta membangun masjid dan memberi mimbar khutbah dikompleks pemakaman Ki Ageng Selo sebagai wujud dari rasa penghormatan terhadap leluhurnya,. Peristiwa tersebut tercatat dalam sebuah prasasti yang bertuliskan arab pegon pada sekitar abad ke 17. Lambang kebesaran keraton Surakarta terukir pula di bagian atas mimbar. Mimbar ini digunakan oleh khotib ketika membacakan khutbah. Mimbar ini dihiasi dengan ukiran Jawa karena sudah terpengaruh oleh adat Jawa.
    2.      Ornamen Masjid Mantingan
    Ornemen dari Masjid Mantingan (Jepara) ini berukirkan sulur-sulur daun, bunga teratai dan motif gajah yang tercetak sangat halus pada sejenis batuan kapur yang keras. Konon hiasan-hiasan tersebut dibuat sendiri oleh Patih Sungging Badar Duwung, pembantu Sultan Haldirin, yang pada saat itu terkenal dengan kemampuan memahatnya. Sungging Badar Duwung, juga selalu dikait kaitkan dengan kemasyhuran para pematung dan pengukir di Jepara.
    Masjid Mantingan telah beberapa kali mengalami pemugaran, Ornamen yang jumlahnya begitu banyak ditemukan selama pemugaran tersebut, beberapa di antaranya dipasang di tembok serambi masjid. Sedangkan yang lainya disimpan di gudang milik masjid, di Museum Kartini Jepara dan sebagian lagi tersimpan di Museum Ronggowarsito Semarang, Jawa Tengah.
    Motif-motif ornamen ini menggambarkan budaya hindu masih kental mewarnai perkembangan budaya masyarakat pada saat itu.

    3.      Jambangan
    Jambangan ini berasal dari Lasem, Rembang. Jambangan terbuat dari tanah liat dan berbentuk seperti pot bunga berukuran besar dengan hiasan bagian atas yang bergelombang. Jambangan mempunyai fungsi sebagai wadah air yang digunakan untuk bersuci ketika akan memasuki makam Nyi Ageng Maloka. Beliau merupakan tokoh penting sebagai penyebar agama islam di Rembang. Berdasarkan tipe nisannya yang terdapat di Troloyo, diperkirakan makam tersebut berasal dari abad XV Masehi.

    4.      Masjid Demak
    Masjid Demak terletak di desa Kauman, Kabupaten Demak. Pendiri masjid ini adalah Raden Patah (raja pertama dari kesultanan Demak) bersama para wali yang menyebarkan agama islam di tanah Jawa yang disebut dengan walisongo. Masjid ini didirikan pada tahun 1399 Saka (1477 M), sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun 1401 Saka yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1479 M.
    Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25 x 3 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga.
    Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara.
    Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki.Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan.
    Selain itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.

    5.      Menara Masjid Kudus
    Menara Kudus memiliki ketinggian sekitar 18 m dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang berjumlah 32 buah. Dua puluh buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang dibuat sekitar tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).
    Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya, penggunaan material batu bata juga dipasang tanpa perekat semen. Selain itu, teknik konstruksi tradisional Jawa bisa dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug. Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.

    B.     Nilai Islam dan budaya Jawa dalam lima aspek peninggalan di museum Ranggawarsita.
    Jika melihat dari diskripsi lima peningglan yang sudah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, semua  peninggalan memiliki nilai islam dan corak kebudayaan Jawa. Para tokoh yang telah berjasa tersebut meninggalkan warisan peninggalan berupa akulturasi Islam dan Jawa. Misalnya dibuktikan dengan Mimbar Khutbah Masjid Ki Ageng Selo, Mimbar ini dihiasi dengan ukiran Jawa karena sudah terpengaruh oleh adat Jawa, dan tentunya mempunyai nilai keislaman karena mimbar ini digunakan khotib saat membacakan khutbah.
    Kemudian menara kudus juga memiliki nilai islam dan budaya Jawa. Hal ini bisa dilihat dari arsitekturnya yang masih merujuk pada unsur Jawa-Hindu, namun esensinya menara kudus juga membawa nilai keislaman. Begitu juga dengan Masjid Agung Demak yang membawa nilai islam, yang dibuktikan dari filosofi bangunan-bangunannya yang mengandung unsur keislaman seperti rukun islam dan rukun iman.

    IV.             KESIMPULAN
    Koleksi peninggalan yang terdapat di museum Ronggowarsita seperti Mimbar Khutbah Masjid Ki Ageng Selo, Ornamen Masjid Mantingan, Jambangan, Masjid Demak dan Menara Masjid Kudus mempunyai nilai Islam dan budaya Jawa yang bisa dibuktikan dari keterkaitan antara fungsi, filosofi dan keunikan bangunan atau bentuk benda yang masih terpengaruh unsur atau tradisi kebudayaan Jawa.

    V.                PENUTUP
    Demikian laporan field research tentang lima aspek peninggala di Museum Ronggowarsito Semarang. Semoga laporan ini bisa memberikan sumbangan bagi pengembangan Islam dan Budaya Jawa, serta bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.


  • Makalah Wanita Dalam Budaya Jawa

    0
    WANITA DALAM BUDAYA JAWA

    Disusun Guna Memenuhi Tugas
    Mata Kuliah :  Islam dan Budaya Jawa
     Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si



    Disusun Oleh :

    Dodit Adi Cahyono                (123411036)
    Farda Naila Salsabila              (123411039)
    Ferdin Tri Yuniar                    (123411041)
    Hanik Nurul Faizah                 (123411045)
    Ida Nurhidayah                       (123411049)


    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  WALISONGO
    SEMARANG
    2015

    I.            PENDAHULUAN
    Laki-laki dan perempuan diciptakan dengan posisi yang sama, namun pemahaman tentang kewanitaan selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas, karena perlakuan terhadap dirinya yang tidak ditempatkan dalam posisi yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam sejarah umat manusia, kapanpun, dimanapun dan bangsa apapun, pada kebudayaan tingkat apapun wanita selalu ditempatkan sebagai insan kelas ke dua. Begitu pula dalam budaya Jawa, wanita dipandang sebagai kanca Wingking yang harus menuruti atau meladeni sang suami.
    Wanita sebagai hamba Allah, memiliki peran amat besar dalam kehidupan  bermasyarakat  dan  bernegara.  Tanpanya,  kehidupan  tidak  akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin sudah terhenti beribu – ribu  abad  yang  lalu.  Oleh  sebab  itu,  wanita  tidak  bisa  diremehkan  dan  di abaikan,  karena  dibalik  semua  keberhasilan  dan  kontinuitas  kehidupan,  di situlah ada peran wanita. Oleh karena itu ia pantas mendapatkan perlakuan yang baik dalam segala aspek.

    II.            RUMUSAN MASALAH
    1.      Apa Istilah, Makna Serta Beban Ideologis pada Wanita Jawa?
    2.      Bagaimana Karakteristik Wanita Jawa?
    3.      Bagaimana Kedudukan Wanita Jawa?
    4.      Bagaimana Kekuasaan Wanita Jawa?
    5.      Bagaimana Peranan Wanita Jawa?

    III.            PEMBAHASAN
    1.      Istilah, Makna, dan Beban Ideologis pada Wanita Jawa
    Dalam lingkungan masyarakat Jawa, ada beberapa istilah yang diberikan kepada wanita berdasarkan peran dan kedudukan mereka. Istilah-istilah itu bukanlah sekedar istilah, melainkan membawa beban ideologis tertentu bagi wanita sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini[1]:
    a.       Sebutan Wadon
    Kata Wadon berasal dari bahasa Kawi wadu, yang secara harfiah berarti kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan, bahwa di dunia ini perempuan “dititahkan” atau “ditakdirkan” sebagai abdi (pelayan) Sang Guru Laki (suami). Bahkan dalam konteks kebudayaan Hindu lama, eksistensi kaum hawa sebagai abdi harus dijalani tanpa terbatas oleh ruang dan waktu. Artinya, kewajiban perempuan mengabdi kepada suami tidaklah terbatas di dunia nyata ini, melainkan harus sampai di akhirat. Pengabdian seorang wanita harus mengikuti sang guru laki dalam setiap tataran “kehidupan”. Secara naratif, hal tersebut mengandung konsekuensi logis, bahwa jika sang suami meninggal, sang istri harus melanjutkan pengabdiannya di alam kubur, dan begitu pula seterusnya.
    b.      Sebutan Wanita
    Kata wanita berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa wani (berani) dan tata (teratur). Secara “gathukologis”, kata bentukan ini mengandung dua konotasi, yakni wani ditata (berani [mau] diatur) dan wani nata (berani [mau] mengatur). Dalam konotasi wani ditata mengandung makna, bahwa perempuan harus tetap tunduk pada sang suami. Sedangkan wani nata mempunyai maksud, bahwa perempuan (sebagai ibu rumah tangga) harus bertanggung jawab atas pendidikan anak dan seluruh pengaturan (kesejahteraan, kesehatan, kerapian, dll) keluarga.
    c.       Sebutan Estri
    Kata estri berasal dari bahasa Kawi estren yang berarti penjurung (pendorong). Dari kata estren terbentuklah kata hangestreni yang berarti mendorong. Dengan demikian sebutan estri mengandung konsekuensi logis (tanggungjawab yang melekat), bahwa seorang estri harus mampu mendorong suami, membantu pertimbangan-pertimbangan, terutama saat jiwa dan semangatnya sedang melemah.
    d.      Sebutan Putri
    Secara leksikal kata putri berarti anak perempuan. Dalam peradaban tradisional Jawa, kata ini sering digunakan sebagai akronim kata-kata putus tri perkawis. Itu berarti, dalam kedudukannya sebagai seorang putri, perempuan dituntut untuk merealisasikan tiga kewajiban wanita (tri perkawis), baik dalam kedudukannya sebagai wadon, wanita, maupun estri.
    Kalau istilah-istilah diatas kita simak secara teliti, tidak ada satupun yang mendudukkan kaum wanita secara sejajar dengan kaum pria. Semua istilah tersebut memberikan beban tertentu bagi perempuan.

    2.      Karakteristik Wanita Jawa
    Seperti juga karakter laki-laki, karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi.
    Terutama di dusun ini, banyak ditemukan wanita Jawa yang selain mempunyai ketahanan psikis tinggi juga mempunyai fisik yang kuat. Mereka terbiasa bekerja keras secara fisik, misalnya mencari rumput untuk pakan ternak (ngarit), memanggul padi hasil panen, atau menggendong dodolan (barang-barang dagangan) dan masih harus berjalan jauh ke pasar. Pada umumnya wanita Jawa mempunyai kebiasaan untuk bangun paling pagi dan tidur paling akhir, sementara sepanjang hari megurus rumah. Meski tetap harus berjualan di pasar, ia masih juga menyiapkan makan untuk suami dan anak-anaknya. Jarang ditemukan wanita Jawa yang manja dan tidak mau bekerja.
    Suami yang mempunyai kedudukan baik di pemerintahan mengerjakan pekerjaan kantoran (administratif), sementara sawah dab ladang sebagai kelungguhan (bayaran atas kedudukannya) diolah oleh istri. Wanita sangat menghargai dan menjunjung tinggi suami sehingga secara publik tetap suami yang dihargai dan dihormati. Dalam hal ini, sejak masa anak-anak wanita dididik untuk berbakti kepada suami, sedangkan anak laki-laki dididik untuk bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya.
    Seorang wanita Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun. Mereka paling pintar memendam penderitaan pula memaknainya. Mereka kuat dan tahan menderita. Bagaimana sikap batin seorang wanita Jawa ini digambarkan dengan cantik oleh Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem.[2]
    Dalam novel Sri Sumarah, Umar Kayam juga menggambarkan bagaimana seorang istri Jawa seharusnya. Ini tampak dari nasihat Embah kepada Sri Sumarah untuk memasuki bahtera rumah tangga:
    Embahnya dalam bulan-bulan berikut memeprsiapkan cucunya dengan sebaik-baiknya. Persiapan bagi seorang gadis untuk menjadi seorang istri yang sempurna. Modelnya, Sembadra alias Lara Ireng, adik Kresna dan Baladewa, istri Arjuna, laki-laki dari segala laki-laki. Dialah istri yang sejati, patuh, sabar, mengerti akan kelemahan suami, mengagumi akan kekuatannya.”
    “Bukannya kebetulan nDuk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu, kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, itu tidak berarti lantas kau diam saja, nDuk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti, nDuk?”
    Sifat pasrah, sumarah, di sini bukan sebuah ekspresi kepasifan karena pasrah berarti mengerti dan terbuka, namun tidak menolak. Jadi, di balik penampilan wanita Jawa yang kalem, patuh, dan sabar, tidak berarti ia bisa diperlakukan sekehendak hati suami. Istri mengerti kelemahan dan mengagumi kekuatan suami.[3]
    Dalam kehidupan perempuan Jawa sering kita dengar istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunannya.
    a.       Masak
    Wanita atau perempuan Jawa  tidak sekadar membuat/mengolah makanan, melainkan memberi ‘nutrisi’ dalam rumah tangga sehingga tercipta keluarga yang ’sehat’. Dalam aktivitas memasak pula seorang wanita harus memiliki kemampuan meracik, menyatukan, dan mengkombinasikan berbagai bahan menjadi satu untuk menjadi sebuah ‘makanan’. Ini adalah  wujud kasih sayang istri terhadap seluruh anggota keluarga.
    b.      Macak
    Macakadalah bersolek atau berhias. Jangan dimaknai hanya sebagai aktivitas bersolek mempercantik diri. di dalamnya terkandung makna menghiasi atau memperindah ‘bangunan’ rumah tangga. Juga mempercantik batinnya supaya memiliki sifat yang lemah lembut, ikhlas, penyayang,  sabar dan mau bekerja keras.
    c.       Manak
    Manakartinya melahirkan anak.  Tidak semata proses bekerja sama dengan suami dalam ‘membuat anak’, mengandung dan melahirkan seorang buah hati. Akan tetapi mengurus, mendidik, dan membentuk karakteristik seorang anak hingga menjadi manusia seutuhnya.
    Menurut  Ronggowarsito sedikitnya ada 3 watak perempuan yang jadi pertimbangan laki – laki ketika akan memilih, yaitu :
    a.       Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan. Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati
    b.      Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan. Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?
    c.       Watak Gemati, penuh kasih, Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan jawa relatif bisa memasak. Betul semua bisa beli,tetapi hasil masakan sendiri  adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).[4]

    3.      Kedudukan Wanita Jawa
    Dari gambaran mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam sastra jawa yang dihasilkan raja dan pujangga keraton abad XVIII dan XIX diketahui bahwa peran dan kedudukan perempuan terbatas disektor domestik. Adapun kedudukan perempuan yang disebutkan dalam beberapa karya sastra jawa tersebut, antara lain sebagai berikut : [5]
    a.       Sebagai hamba Tuhan
    Perempuan jawa pada umumnya menganut agam islam, katolik, protestan, hindu dan budha. Adapun agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat termasuk  perempuan dilingkungan keraton adalah agama islam yang tercampur dengan unsur-unsur ajaran hindu budha, animisme, dan dinamisme. Pengembangan kebudayaan jawa yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama  islam dilakukan oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka menganjurkan agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas karunia Tuhan.
    b.      Sebagai anak atau menantu
    Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti(mengabdi) kepada orang tua. Setelah menikah pengabdian sebagai anak bertambah dengan wajib bekti kepada mertua. Selanjutnya dijelaskan  pula alasan mengapa masing-masing perlu mendapatkan penghormatan dari anak. Disebutkan bahwa bapak/ibu adalah sebagai perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga mempunyai andil dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui perantara mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.
    c.       Sebagai istri
    Dalam sastra jawa banyak ditemukanajaran tentang tugas-tugas istri sebagai pendamping suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami. Dalam kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam posisi yang lebih rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus memperlakukan suami  seperti dewa yang dipuji, ditakuti , dan dihormati.
    d.      Sebagai ibu
    Tugas perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak banyak disinggung dalam karya sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam karya sastra jawa adalah hak ibu, termasuk bapak, untuk mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak orang tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya sama dengan raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.
    4.      Kekuasaan Wanita Jawa
    Menurut konsep Jawa, kekuasaan pada hakikatnya bersifat homogen, bersifat satu dan sama saja dimanapun ia menampakkan diri, serta dalam jumlah yang tetap sepanjang waktu. Sementara Kekuasaan wanita Jawa adalah kekuatan yang menyelinap serta strategi yang dilakukan wanita jawa untuk mendapatkan pengaruh merupakan upaya penaklukan diri ke dalam dengan mengabdi kepada keluarga.
    Oleh karena itu, seorang Ibu mempunyai kedudukan yang penting yakni sebagai simbol moralitas dalam keluarga. Dengan simbol moralitas yang spiritnya hidup dalam diri suami dan anak-anaknya serta kekuatan feminisnya yang luar biasa mampu menopang, melindungi dan menjadi sumber inspirasi bagi suami dan anak-anaknya. Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung dua ciri, diantaranya :[6]
    a.       Bermain di dalam Ruang Kekuasaan
    Salah satu ciri kekuasaan wanita Jawa adalah kepasifan dan ketenangan, tidak menunjukkan gejolak pemberontakan. Kekuatan nilai budaya Jawa seakan menekannya untuk mampu menjaga harmoni dengan mengabdi dan menghargai laki-laki atau suami. Wanita selalu menjaga tata krama sopan santun yang terkadang menjadi jerat budaya bagi kehidupan sosial masyarakatnya dimana wanita itu sendiri bagian dari warganya.
    Kekuatan yang menyelinap ini tumbuh subur dalam kultur jawa yang memiliki konsep bahwa semakin besar kekuasaan seseorang maka semakin ia bersikap halus, konsep halus dalam kultur jawa sangat menggambarkan feminitasnya yaitu bertutur kata lembut, hangat, pengendalian diri kuat, perasaan halus, memahami orang lain, kalem dan tenang.
    b.      Penakhlukan Diri ke Dalam
    Selama ini secara formal wanita Jawa tidak mempunyai status yang sah untuk ikut berbicara dalam bidang politik dan pengaturan kebijakan umum. Ini diakibatkan oleh sikap dan praktik formal yang mendeskriminasi wanita.
    Wanita Jawa mengembangkan sebuah cara khas untuk mendapatkan kekuasaan dan tetap mempengaruhi sektor publik tanpa meninggalkan atau melanggar nilai-nilai keutamaan kultur Jawa (prinsip keselarasan, hormat dan terkendali. Dalam cara perolehan kekuasaan menggambarkan bagaimana kekuasaan diperoleh dengan melakukan pendalaman dan penghalusan rasa terus-menerus.
    Dengan strategi pengabdian seorang wanita Jawa cenderung memangku dan melakukan pengabdian total kepada keluarga atau suami. Istri tidak hadir sebagai pihak yang ingin sebagai pihak yang ingin dimengerti dan dipahami, tetapi ia justru hadir sebagai pihak yang lebih ingin dimengerti dan memahami suami. Oleh karena itu, istri akan cenderung untuk lebih memangku, yang artinya lebih mengerti dan memahami suami. Suami yang sangat dimengerti dan dipahami oleh istri akan merasa nyaman, aman, dan damai dirumah.

    5.      Peranan Wanita Jawa
    Menurut KBBI, peran adalah ikut ambil bagian dalam suatu kegiatan, keikutsertaan secara aktif atau partisipasi.[7] Pengertian peran dalam wanita jawa disini adalah keikutsertaannya secara aktif sesuai adat istiadat jawa. Wanita berperan penting dalam budaya jawa khususnya pada adat istiadat yang dipergunakan oleh orang jawa.
    a.       Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral
    Dalam budaya jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sangat besar terhadap sekitarnya. Peran yang sangat besar dari wanita didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis dari masyarakat jawa sendiri, seperti orang tua yang lebih memilih ikut anak wanita daripada anak laki-laki karena anak wanita lebih bisa ngrumati (merawat), aturan pembagian warisan dapat dirundingkan kembali jika ada yang tidak setuju, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik.[8]
    Walaupun aturan  normatif  jawa menunjukkan bahwa posisi wanita di bawah laki-laki (cenderung paternalistik). Misalnya dalam pengambilan keputusan keluarga anak laki-laki di beri kesempatan lebih besar untuk terlibat daripada anak perempuan (wanita), atau dalam pembagian warisan berlaku sistem sepikul segendongan (anak laki-laki mendapat sepertiga, anak wanita mendapat sepertiga yang diadopsi hukum islam). Namun dalam pertalian kekerabatan yang menggunakan hitungan baik yaitu dari garis keturunan bapak maupun ibu (bilateral) sehingga anak laki-laki dan wanita mendapat warisan yang sama.
    b.      Wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan
    Peran wanita jawa terutama ibu mendapatkan pemujaaan penuh dari orang-orang jawa. Niels Muder seorang sosiolog yang melakukan riset di jawa mengatakan bahwa sosok ibu sangat dekat dengan anak-anak, ramah, cahaya kehangatan dan hiburan, hadir untuk anak-anaknya dan menjadi pusat kehidupan mereka.[9]
    Sebagai simbol moralitas, kebajikan, pengorbanan diri, kesabaran dan tanggung jawab, wanita yang posisinya sebagi ibu memikul beban idealisasi yang juga menjadi alasan mengapa dirinya dihormati lebih dari segalanya. Pengalaman emosional dan kedekatan dengan ibu serta petuah-petuah moralnya meneguhkan dirinya menjadi figur dominan dalam kesadaran dan hati nurani anak-anaknya, dan menjadikannya wakil utama dari suara hati mereka.
    Hal tersebut terjadi karena wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam Rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut merasa senang. Hingga anak itu lahir dan hingga anak itu tumbuh dewasa.[10]
    Oleh sebab itu mengabaikan atau melawan kebijakan ibu, menyakiti dengan alasan apapun, adalah sesuatu yang tak tergambarkan buruknya, yang bisa menyebabkan perasaan bersalah dan berakibat pada timbulnya rasa dosa. Dekat dengan ibu, setia padnya, menjadi sesutau ynag amat penting untuk menjaga kehormatan diri. Mengabaikan perasaan ibu, seperti melawan kehendaknya (kehendak yang positif) bahkan seandainya sang ibu tidak mengetahui perbuataanya akan mencederai dirinya dan akhirnya dapat merusak dirinya.
    c.       Wanita berperan dalam ketergantungan anak laki-laki
    Dalam hal ketergantungan, biasanya anak laki-laki akan lebih banyak tergantungnya pada ibu dibandingkan anak perempuan atau wanita Ketergantungan adalah sesuatu yang normal, sepanjang individu tersebut masih mempunyai kesadaran atas status, identitas dan perannya. Namun karena lak-laki yang selalu dimanja menyebabkan laki-laki banyak bergantung pada wanita daripada wanita bergantung pada laki – laki. Hal tersebut menunjukan bahwa pengaruh ibu sangat besar pada jiwa anak laki-lakinya.
    Kualitas hubungan anak kepada ibu menjadi penanda utama identitas, harga diri, dan sikap moral. Jika nantinya menikah sang ibu tampaknya masih akan dominan dalam kesadaran anak laki-laki, boleh jadi pengaruh ibu mengalahkan kehendak istrinya. Atau malah suami yang bersikap seperti anak sulung kepada istrinya yaitu menjadi semacam bayi tua. Dalam hati nurani individu  yang bergantung pada orang lain, kesadaran pada ibu akan menjadi sangat penting. Bahkan sering seorang istri mengambil alih sosok ibu suaminya sebagai representasi suara hati atau menjadi sosok yang menempatkan diri sejajar dengan ibu.
    d.      Wanita jawa sebagai konco wingking dan garwa
    Di kalangan masyarakat Jawa, perempuan dikenal dengan istilah konco wingking untuk menyebut istri, hal itu menunjukkan perempuan tempatnya bukan di depan sejajar dengan laki-laki, melainkan di belakang, di dapur karena dalam konsep budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur, sumur, dan kasur. Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestiknya.[11]
    Walaupun demikian, ikatan dan konsepsi wanita sebagai konco wingking berlaku sebagai kondisi sak prayoganipun (seyogyanya) atau ideal bagi budaya jawa. Tampaknya, ikatan aturan dan ikatan tersebut hanya berkembang dalam arena publik orang jawa. Jadi secara publik atau formal baik berdasarkan persepsi laki-laki ataupun wanita jawa sendiri, ide tentang wanita tetap “subordinat” atau derajat wanita dipandang lebih rendah daripada laki-laki.
    Namun dalam praktik kehidupan sehari-hari yang berlaku adalah sakprayoganipun yaitu segala tindakan dilakukan dengan melihat situasi sehingga berlakunya tergantung pada keadaan. Selain itu terbuka lebar kemungkinan bagi setiap orang, termasuk wanita untuk memaknai konsep-konsep tersebut. Konco wingking misalnya menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan. Seperti halnya sutradara yang tidak pernah kelihatan dalam filmnya sendiri, tetapi ia yang menetukan siapa yang boleh bermain dan akan seperti apa jadinya film itu nanti.
    Dalam kultur Jawa memang terdapat beberapa adat kebiasaan yang bersifat samar-samar dan mengutamakan ikatan paternal. Contohnya, aturan tentang pembagian harta perolehan bersama (gono-gini) pada saat perceraian. Dalam pembagian gono-gini tersebut diatur bahwa suami mendapat dua bagian sedangkan istri mendapat satu bagian. Contoh lainnya aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki masing-masing akan memperoleh dua bagian. Sedangkan anak wanita mendapat satu bagian. Contoh lainnya lagi adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian nominal atas anak wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak.

     IV.            KESIMPULAN
    1.      Perempuan dalam masyarakat jawa disebut Wadon, Wanita, Estri, Putri. keempat istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata melainkan mengandung konsekuensi idiologis, yang disini disebut sebagai beban idiologis. Dalam kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri  (garwa), pendamping suami dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak.
    2.      Karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi. Dalam kehidupan wanita Jawa ada istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak, pandai berdandan atau bersolek.
    3.      Kedudukan wanita jawa adalah sebagai hamba Tuhan, sebagai anak atau menantu, sebagai istri, sebagai ibu.
    4.      Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung dua ciri, yaitu mampu bermain di dalam ruang kekuasaan dan mampu menaklukkan didiknya ke dalam keluarga.
    5.      Peranan wanita jawa yaitu sebagai posisi sentral, wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan, wanita berperan dalam ketergantunagan anak laki-laki, wanita berperan sebagai konco wingking dan garwa.

        V.            PENUTUP
    Demikian penjelasan dalam makalah ini, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan. Karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya akan menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.


    DAFTAR PUSTAKA

    Amin,  Darori (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa,Yogyakarta: Gama Media. 2000.
    Dian, Seri, Kisah dari Kampung Halaman, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
    Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta,   cet. I, 2004.
    KBBI Offline Versi 3
    Sukri, Sri Suhandjati dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2001.



    [1]. Seri Dian, Kisah dari Kampung Halaman, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 275-276.
    [2]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, hlm. 130-131.
    [3].  Christina S. Handayani dan Ardhian  Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, hlm. 137.
    [5]. Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan,  Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta:Gama Media, 2001, hlm. 63.

    [6]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004, hlm. 200-209.
    [7]. KBBI offline Versi 3
    [8]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa,Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2004, hlm. 42
    [9]. Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: LKIS, 2004, hlm. 42.
    [10]. M.Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2000, hlm. 45.
    [11]. Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan,  Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, Yogyakarta:Gama Media, 2001, hlm. 6.
  • Copyright © - Farda Naila Salsabila

    Farda Naila Salsabila - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan